Hari ini hari terakhir UAS Semester Pendek. Seusai ujian aku
merasakan beratnya kaki ini melangkah keluar kelas meski soal yang diujikan
sudah kujawab semua. Aku bahkan sudah dua kali membaca ulang baik pertanyaan
maupun jawaban. Sebelum tuntas membaca ulang untuk yang ke tiga kalinya aku
akhirnya membalik lembar jawaban lalu menyeret kaki menuju pintu.
Begitu membuka pintu, mataku langsung menangkap sosok yang
sudah sangat kukenal bahkan jika ia membelakangiku. Beberapa langkah dari
tempatku tercenung ia berdiri, menantiku. Pertemuan terakhir kami kira-kira dua
minggu yang lalu. Saat ia mendapati kebodohanku.
Waktu itu tanpa kusadar sepasang matanya mengawasiku dari
mulai aku memasuki sebuah cafe dengan menggamit mesra tangan pria yang tak ia
kenal, memesan makanan dan minuman, menikmatinya sambil diselingi candaan dua
sejoli yang terlihat sedang kasmaran. Aku masih tidak sadar hingga aku melewati
meja tempat ia dan teman-temannya sedang ngobrol saat aku akan ke toilet.
Sedetik, mata kami beradu, namun ia cepat-cepat mengalihkan
pandangannya dan terlibat dalam percakapan, ikut tertawa bersama
teman-temannya. Aku kenal sorot mata itu, sorot yang mencerminkan kalau si
empunya tidak sedang benar-benar tertawa.
Saat aku sudah berada di dalam toilet, sekujur tubuhku bergetar.
Untuk sekedar berdiri tegak pun rasanya sulit. Di atas dudukan toilet aku
terduduk lemas, mengulas kembali kejadian 30 menit yang lalu. Entah karena
panik atau tidak rela, aku tak bisa mengingat apapun selain sorot mata yang
sebelum hari ini selalu menatapku hangat selama kurang lebih 3 tahun kami
kuliah dan berpacaran ditambah 3 tahun kami duduk di bangku SMA dan berteman
baik. Dan dadaku sesak membayangkan betapa momen 30 menit bisa mengandaskan
kebersamaan selama enam tahun. Pelupuk mata ikut mengekspresikan kekacauan yang
kualami.
Cukup lama aku berdiam di dalam ruang sempit namun terasa
dipenuhi mahkluk-makhluk yang bersukacita menyaksikan ketololanku. Pada menit
ke sekian, Aldi, pria yang datang ke kafe ini bersamaku akhirnya menghubungi
ponselku. Aku sedikit tersentak mendengar dering ponselku sendiri. Tak tahu
harus bilang apa, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menjawab telepon itu dan
mengumpulkan keberanian melangkah keluar dari toilet.
Saat aku kembali melewati meja tempat Tian, kursi tempatnya
tadi duduk sudah kosong. Takut-takut aku melirik pada wajah-wajah yang
menduduki kursi-kursi tempat teman-temannya tadi berada, yang sekarang ternyata
sudah diduduki orang yang berbeda. Selama
itukah aku di toilet?
Aldi menghampiriku yang berdiri tidak jauh dari toilet.
“Kamu kenapa?” tanyanya, khawatir.
Aku terdiam sejenak. “Di, aku sakit perut, kita balik
sekarang, ya.” Ucapku sambil meninggalkannya, mengambil tasku, keluar dari kafe
dan masuk ke taksi yang barusan menurunkan penumpangnya persis di depan kafe.
“Alexa...” kudengar panggilan tertahan Aldi sebelum aku
menutup pintu taksi.
Di dalam taksi, ponselku tak henti-hentinya berdering dari
satu pemanggil yang sama, Aldi. Setelah mengirim pesan singkat bahwa aku
baik-baik saja dan bohong kalau aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit
terdekat untuk periksa akhirnya dering-dering itu berhenti.
***
Dua jam lebih aku menanti di ruang tamu kostannya, Tian tak
kunjung datang. Di masa-masa normal hubungan kami, aku pasti sudah ngambek
bahkan jika ia membuatku menunggu hanya 15 menit.
Memasuki jam ke tiga, dengan wajah kusutnya akhirnya ia
muncul dari balik pintu.
“Oi, Yan, parah lu! Cewek lu uda nunggu tiga jam gitu. Dari
mana aja lu?” Ucap Dion, teman sekostannya yang berpapasan dengannya.
Ia hanya nyengir menanggapi ocehan Dion lalu duduk persis di
sebelahku. Namun mata itu seakan tak sudi menatapku. Alih-alih mata itu fokus
pada layar TV yang menayangkan berita.
Puluhan menit berlalu begitu saja. Aku tak tahu harus apa.
Untuk sekedar memanggil nama pendeknya saja lidah ini kelu.
“Yan...” panggilku pelan, akhirnya memberanikan diri.
Tidak ada respon. Kesunyian kembali menyergap.
“Yaan...” panggilku lagi, sedikit lebih keras dari
sebelumya.
“Hmm?” responnya.
Aku terdiam lagi. Kucoba merangkai kata, namun yang akhirnya
keluar hanya, “Maaf...” diiringi air mata.
Ia akhirnya membalikkan badan, menghadapku. Dalam diam
kemudian ia berdiri, “Kita omongi di kamarku aja,” ucapnya pelan sambil
beranjak. Aku menyusulnya.
Aku berdiri canggung di kamar yang selalu tertata rapi dan
juga harum setiap kali aku berkunjung. Aku jarang masuk ke kamarnya, namun
setiap kali ke sini aku belum pernah mendapati kamar ini kotor tak terurus, bau
rokok – Tian bukan perokok, pengap dan deskripsi kebanyakan kamar cowok
lainnya.
Tian duduk di atas kasur yang menghadap lemari pakaiannya.
Aku memilih kembali duduk di sampingnya.
“Sudah berapa lama?” tanyanya. Kali ini ia menatapku, tanpa
tatapan menuduh.
Aku tak langsung menjawab. Ku coba menyusun kata hingga
akhirnya memutuskan menceritakan semuanya, sejujur-jujurnya.
“Aku kenal dia dua bulan yang lalu. Dia teman SMA Fira.
Waktu aku ke mall bareng Fira nggak sengaja ketemu dia, Fira mengenalkan dia ke
aku,” uraiku berusaha menjelaskan. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia,
Yan,” tambahku.
“Fira anak ekonomi?” ia memastikan. Aku mengangguk, masih menunduk.
“Kamu suka sama dia?”
Spontan, aku mendongak, “Enggak, sayang, beneran aku nggak
ada perasaan apa-apa ke dia,” yakinku.
“Dia yang suka kamu kalau begitu?”
Aku kembali menunduk. Tak berani meng-iya-kan.
“Yan, aku mohon maafin aku...” ucapku lirih.
Tak ada respon. Namun tak berapa lama tanpa kuduga ia
memegang satu tanganku.
“Aku butuh waktu untuk mikirin semuanya. Kamu, aku, dan
hubungan kita,” ucapnya tanpa ada nada marah sedikitpun.
“Dua minggu, aku rasa cukup untuk kita saling introspeksi
diri. Jadi selama dua minggu ke depan baiknya kita nggak ada komunikasi sama
sekali dulu, sekalian kamu fokus nyiapin diri untuk UAS SP ntar,” ucapnya
tegas, tanpa tanya setujukah aku dengan idenya.
Dulu aku jatuh cinta pada sosok ini karena ketenangannya.
Tiga tahun pacaran ia selalu menemukan alasan untuk memaafkan aku yang teledor
dan tidak sabaran. Betapa aku berharap saat ini ia mengumpatku sepuasnya lalu
tanpa perlu jeda dua minggu kemudian memaafkanku.
***
Dalam perjalananku pulang ke kostan, percakapan di awal tiga
bulan kami jadian terngiang di kepalaku.
“Lex, kelak kalau kamu bosan pacaran denganku kamu ngomong
aja ya,” ucapnya. Aku mengernyit mendengar pernyataannya kala itu. “Dari semua
sifat negatif manusia aku paling benci ketidaksetiaan. Jadi, ya... aku lebih
mudah ngizinin kamu untuk nyoba pacaran dengan cowok lain ketimbang mendapati
kamu diam-diam nggak setia sama aku.”
Tanpa bisa kucegah air mata kembali membasahi pipiku. Kalau
saja aku mengingat ucapannya ketika ide untuk memanfaatkan rasa suka Aldi
padaku muncul di permukaan, di tengah-tengah kejenuhan hubunganku dan Tian.
***
“Kamu apa kabar?” ucapku membuka percakapan sekaligus juga
benar-benar bertanya sesampainya kami di gazebo yang sore ini lengang. Pada
masa perkuliahan aktif gazebo ini selalu ramai dihuni oleh para mahasiswa.
Namun berhubung saat ini adalah masa liburan dan hanya sebagian kecil mahasiswa
yang ikut Semester Pendek wajar saja hanya ada kami berdua kali ini.
“Seperti yang kamu lihat, aku sehat,” ucapnya tersenyum.
“Udah maafin aku?” tanyaku, aku sendiri bisa mendengar getar
dalam suaraku.
Ia tak langsung merespon. Jantungku berdebar tanpa mampu
kukontrol.
“Maafin kamu sebenarnya udah, dari pertama kamu minta maaf
sebenarnya aku udah maafin kamu,” jawabnya akhirnya, namun jantungku tak
semakin menurun kecepatannya berdetak.
Aku diam. Menunggu kalimatnya selanjutnya, yang kuharap
tidak ada.
“Dua minggu ini aku berusaha ngelupain kejadian di kafe. Aku
gagal. Dua minggu ini juga aku berusaha ngumpulin keyakinanku bahwa kejadian
itu nggak akan pernah terulang lagi. Aku gagal lagi. Aku berusaha mengingat
momen-momen kita bersama. Kupikir banyaknya momen itu akan cukup kuat untuk
memusnahkan satu momen itu. Ternyata aku salah, momen itu ternyata punya banyak
bayangan hingga tiap kali aku mengingat kenangan-kenangan kita ia selalu
berhasil menyusup dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Dan ia selalu menang,
meyakinkanku kenangan akan tetap menjadi kenangan, tapi kamu juga aku bukan
lagi sosok yang sama yang berperan dalam kenangan-kenangan itu,” ucapnya
panjang lebar.
Menyadari ke mana pembicaraan akan berujung, sekuat tenaga
aku menyembunyikan derasnya air yang sanggup mengalir dari kedua mataku.
“Aku memutuskan untuk menyudahi hubungan kita dan mengubur
semua kenangan kita. Itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk bisa menepis
kejadian di kafe itu dan kemudian hidup tanpa membencimu,” putusnya.
***
Setibanya di kamar kostku aku tak kuasa meredam air mata
yang terus menerus mengalir. Air mata penyesalan atas kebodohanku,
ketidaksetiaanku, dan atas pelitnya Tian untuk sudi memberiku kesempatan ke dua.
Tidak setiap orang beruntung untuk
mendapatkan kesempatan ke dua. Aku mendengar sudut pikiranku
menginformasikan.
Sayup-sayup, dari kamar salah satu teman kostanku aku
menangkap suara Ariel yang menyenandungkan lirik pada bagian
Dan mungkin bila nanti kita ‘kan
bertemu lagi
satu pintaku jangan kau coba
tanyakan kembali
rasa yang kutinggal mati seperti
hari kemarin saat semua di sini
Dan bila hatimu termenung, bangun
dari mimpi-mimpimu
membuka hatimu yang dulu cerita
saat bersamaku
Tak usah kau tanyakan lagi simpan
untukmu sendiri
semua sesal yang kau cari semua
rasa yang kau beri
Sebelum hari ini, aku sangat menyukai lagu ini. Dan sebelum
hari ini juga, aku sejujurnya tak pernah berusaha benar-benar menyimak kemudian
memahami mengenai apa lagu ini sebenarnya. Kini lagu ini seolah dipesan khusus
oleh Tian untuk menyampaikan kekecewaan sekaligus kekesalannya padaku.
Mungkin, langkah tepat yang bisa kuputuskan saat ini adalah membiarkannya mengubur semua kenangan yang pernah kami lalui bersama. Dua minggu memang terlalu singkat untuk bisa melupakan kebersamaan kurang lebih enam tahun, kan? Kelak, aku akan membuatnya mencintaiku dari awal lagi, memantapkan percayanya padaku, hingga nanti bersama-sama kami akan menciptakan kenangan-kenangan baru tanpa perlu mengungkit kenangan sebelum hari ini.